Saturday, November 18, 2006

Risalah ISY

Risalah ISY


“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak mendapati pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka telitilah berulang-ulang, adakah kamu dapati sesuatu Yang tidak seimbang?”
(Terjemahan Q.S. Al-Mulk ayat 3)


Pendahuluan
Alam ini diciptakan dalam kesetimbangan, yang mengikuti pola-pola keteraturan. Walaupun gejala-gejala alamiah sering terlihat terjadi secara acak, namun tetap saja sesungguhnya adalah acak yang teratur. Ilmu fisika berusaha menemukan pola-pola keteraturan tersebut dan membingkainya dalam satu rumusan. Walaupun tidak ada kesepakatan secara formal namun telah berkembang keyakinan secara luas bahwa pola-pola keteraturan alam itu paling layak dimodelkan dengan pola-pola matematis. Bahkan ada yang berkeyakinan bahwa alam ini memang matematis. Bagi kaum eksternalis (platonik) pandangan ini tidak bermasalah. Kaum eksternalis meyakini bahwa matematika maujud pada alam eksternal (alam gagasan atau idea, istilah Plato), di luar alam kita (alam internal). Oleh karena itu bagi mereka, matematika bebas dari alam internal ini. Tetapi, bagi kaum internalis (Aristotelian), apa yang telah ditunjukkan oleh Kurt Gödel tentang ketiadaan matematika yang konsisten dan komplet telah cukup meyakinkan mereka akan ketiadaan matematika yang ‘besarnya melebihi’ (atau setidak-tidaknya menyamai) alam ini. Karena alam ‘lebih besar’ dari matematika manapun, maka bagi kaum internalis keyakinan bahwa alam itu matematis perlu ditinggalkan. Namun, keyakinan bahwa deskripsi terbaik pola-pola keteraturan alam adalah deskripsi matematis tetap harus dipertahankan. Yang diusahakan adalah mendapatkan deskripsi matematis maksimal bagi keteraturan alam ini.

Bagaimana pola-pola matematis tersebut dirumuskan?
Telah disebutkan bahwa pola-pola keteraturan alam hendak dimodelkan dengan pola-pola matematis. Dalam hal ini matematika berperan sebagai media, sebagaimana batu atau kayu bagi para pemahat atau kanvas dan cat minyak bagi pelukis. Sebagaimana dalam fotografi, matematika berperan seolah-olah sebagai film negatif guna menangkap bayangan alam. Sayangnya, semakin kita mendambakan suatu kaidah yang akurat semakin rumit pula matematika yang diperlukan untuk memodelkannya. Bahkan seringkali bahwa matematika yang diperlukan bagi perumusan suatu kaidah belum dikonstruksi oleh para matematikawan. Dalam hal ini fisika menunjukkan perannya menentukan arah pengembangan ilmu matematika. Pengembangan aljabar operator, geometri nonkomutatif dan grup kuantum mengkonfirmasi fitur semacam ini. Sekali lagi, seandainya matematika berperan sebagai film, maka kualitas gambar yang dihasilkan selain tergantung pada ’cara pengambilan’ dan ’kecanggihan kamera’ yang dipakai juga sangat tergantung pada ’kualitas’ film yang digunakan. Maka janganlah berharap banyak bila matematika yang anda gunakan untuk menangkap bayangan alam hanya merupakan’film’ bermutu rendah.

Untuk mewujudkan obsesi tersebut sebagian fisikawan ---yang dikenal sebagai teoriwan atau fisikawan teori--- berusaha menyusun model-model hukum alam dengan memanfaatkan matematika sebagai media untuk merealisasikannya. Penyusunan model-model ini harus dipandu oleh data-data yang digali oleh sebagian fisikawan yang lain ---dikenal sebagai eksperimentator--- melalui serangkaian eksperimen. Model hukum alam yang diusulkan, tentu saja, tidak mungkin identik dengan hukum alam yang sesungguhnya (yakni yang dimodelkannya), melainkan hanya sekedar pendekatan semata. Oleh karena itu diperlukan ukuran apakah model-model yang diusulkan diterima atau ditolak. Ukuran tersebut haruslah terkait dengan kesesuaian model-model tersebut dengan perilaku alam yang yang diwakilinya. Model yang paling sesuai dengan perilaku alam merupakan model yang paling diterima. Dominasi kaum empiris dalam Fisika (dan juga sains secara umum) ketimbang kaum rasionalis membawa kecenderungan untuk mengambil eksperimen sebagai penentu kesesuaian suatu model dengan perilaku alam yang diwakilinya. Selain dituntut mampu menjelaskan hasil-hasil eksperimen yang telah dilakukan, model yang diusulkan dituntut pula mampu meramalkan hasil-hasil eksperimen yang akan dilakukan. Jadi, semakin banyak hasil eksperimen yang dapat dijelaskan dan diramalkan oleh suatu model secara tepat, maka model tersebut semakin diterima. Maka dapatlah dikatakan bahwa para ekperimentator merupakan ‘hakim’ dalam fisika (sains), yakni menentukan apakah suatu model diterima ataukah ditolak (tentu saja melalui eksperimen). Akan tetapi, walaupun suatu model telah mampu memainkan peran tersebut secara memuaskan, ia terpaksa harus pula ditinggalkan atau paling tidak direvisi bila terdapat paling sedikit sebuah eksperimen yang tidak mampu dijelaskannya atau diramalkannya. Jadi, tidak ada model hukum alam yang diterima secara langgeng. Kata Einstein, “No number of experiments can prove me right; a single experiment can prove me wrong.“

Jadi, model-model yang lolos uji terus bertahan, sedangkan yang gagal perlu direvisi atau ditinggalkan sama sekali. Model-model yang lolos uji perlu disintesa sehingga didapat model-model yang memiliki domain keberlakuan yang lebih luas. Contoh yang mashur adalah sintesa antara mekanika kuantum dengan teori relativitas khusus. Seperti kita ketahui, mekanika kuantum pada awalnya dirumuskan berdasarkan asumsi bahwa partikel-pertikel yang ditinjau memiliki kelajuan cukup rendah sehingga efek relativitas tidak begitu signifikan. Oleh karenanya mekanika kuantum (saat itu) hanya berlaku untuk partikel-partikel dengan kelajuan rendah. Tetapi ketika, kelajuan partikel yang ditinjau dalam laboratorium-laboratorium semakin tinggi, maka diperlukan untuk memperhitungkan efek relativitas. Tuntutan ini pada akhirnya menelorkan mekanika kuantum relativistik yang memiliki domain keberlakuan lebih luas. Contoh lain adalah usaha untuk mendapatkan sintesa antara teori kuantum dengan teori relativitas umum, yakni cita-cita untuk memperoleh suatu model matematis yang mensubordinasi (merangkum) kedua teori itu. Sayang, sintesa antara kedua teori tersebut sejauh ini belum berhasil. Selanjutnya, model-model hasil sintesa kemudian harus diuji lagi dengan eksperimen-eksperimen. Sekali lagi, yang lolos akan bertahan, yang gagal direvisi atau ditinggalkan … Proses iterasi ini terjadi terus-menerus tanpa ada akhirnya.

Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam usaha menemukan hukum-hukum alam yang semakin akurat dibutuhkan peran sinergis dari kedua kelompok ilmuwan itu (teori dan eksperimen). Keduanya terlibat dalam kolaborasi yang mekanistik dan sistemik. Jadi, terdapat keterpaduan antara kedua kelompok ilmuwan tersebut. Oleh karena itu, agar sains dapat berkembang secara ‚sehat’, harus ada interelasi semacam itu antara keduanya dalam setiap riset yang dikerjakan.

Oleh karena itu, dalam ilmu fisika dikenal dua metodologi riset yang ber-sifat saling komplementer (saling me-lengkapi), yakni fisika teori dan fisika eksperimen. Selanjutnya, fisika teori sendiri masih dapat diklasifikasikan lagi menjadi fisika teori yang bersifat fenomenologis, matematis dan kompu-tasional. Teoriwan yang bekerja secara fenomenologis cenderung tidak begitu memperhatikan retorika matematis seca-ra ketat. Yang penting buat mereka adalah kesesuaian antara perhitungan mereka dengan hasil-hasil eksperimen. Pada pihak lain, yang bekerja secara matematis berusaha untuk merumuskan pola-pola keteraturan alam secara mate-matis dengan retorika matematis yang sangat ketat, yakni yang abstrak, formal dan general. Sementara itu, yang bekerja secara komputasional lebih cenderung menghasilkan angka (bukan simbol-simbol) yang terkait secara langsung dengan hasil-hasil eksperimen. Dalam kenyataannya yang tergolong ke dalam kelompok terakhir ini lebih banyak memanfaatkan teknologi komputer, walaupun fisika komputasional tidak harus dengan komputer.



















Dari Galaxy sampai muon
Obyek material ilmu fisika sangat beragam, dan memiliki rentang yang begitu luas. Dari segi ukuran, obyek material fisika bervariasi dari yang berukuran sangat kecil (partikel-partikel elementer) hingga yang berukuran raksasa (tata surya, galaksi, bahkan seluruh kosmos ini). Dari segi kelajuan, obyek material ilmu fisika memiliki kelajuan dari yang diam (aquaduk, jembatan-jembatan, bangunan-bangunan) sampai dengan yang memiliki kelajuan sangat tinggi (partikel-pertikel elementer, misalnya).

Oleh karena itu orang dapat mengklasifikasikan ilmu fisika berdasarkan objek material yang dipelajari. Secara international telah disepakati klasifikasi sebagaimana yang dapat dibaca secara detail dalam situs www.aip.org/pacs. Berdasarkan kesepakatan itu fisika berdasarkan objek material dibagi menjadi sepuluh kelompok besar. Lebih jelasnya berikut adalah 10 besar pengelompokan itu :

  1. General Physics

  2. The physics of Elementary Particles and Fields

  3. Nuclear Physics

  4. Atomic and Molecular Physics

  5. Electromagnetism, Optics, Acoustics, Heat Transfer, Classical Mechanics and Fluid Dynamics

  6. Physics of Gases, Plasmas, and Electric Discharges

  7. Condensed Matter : Structure, Mechanical and Thermal Properties

  8. Condensed Matter : Electronic Structure, Electrical, Magnetic, and Optical Properties

  9. Interdisciplinary Physics and Related Areas of Science and Technology

  10. Geophysics, Astronomy, and Astrophysics



Fisika dan Teknologi
Seringkali (khususnya orang Indonesia) memandang teknologi sebagai ranah (wilayah) orang teknik. Bahkan, kebanyakan mengidentikkan teknologi dengan teknik. Sementara, sains khususnya fisika ditempatkan secara marginal dalam ranah teknologi bahkan di luar wilayah teknologi. Dalam perspektif mereka, urusan teknologi adalah urusan orang teknik, bukan orang MIPA. Cara pandang semacam ini tentu sangat merugikan sebab sains (khususnya fisika) memainkan peran sentral dalam perkembangan teknologi. Secara umum teknologi adalah rekayasa atau manipulasi terhadap perilaku alam sehingga ber-manfaat bagi manusia. Oleh karena itu pengetahuan kita tentang pola perilaku alam sangatlah penting perannya dalam pengembangan teknologi sebab berdasarkan pengetahuan inilah kita dapat merekayasa atau memanipulasi perilaku alam. Padahal, sebagaimana telah diuraikan di atas sains (khususnya fisika) berusaha menemukan pola perilaku alam. Tampak bahwa fisika memainkan peran sentral dalam pengembangan teknologi. Peran semacam ini sangat ketara manakala kita menengok perkembangan teknologi di negara-negara maju. Di sana pengembangan teknologi selalu mendapat nutrisi yang melimpah dari hasil-hasil riset fisika.

Dalam konteks pengembangan teknologi terdapat adagium yang menyatakan bahwa 'Sains adalah peretas jalan bagi teknologi' Sebagai contoh, begitu sains mulai merambah ranah (domain) mikroskopis, perkembangan teknologi pun mulai menapaki ranah tersebut. Sebagai konsekuensi, pada gilirannya muncullah teknologi-teknologi yang berbasiskan pengetahuan alam mikroskopis ini. Sekedar untuk disebutkan, teknologi-teknologi itu di antaranya adalah teknologi zat padat (solid state technology), teknologi nuklir, teknologi laser dll. Inilah teknologi yang secara dominan mewarnai perikehidupan manusia dewasa ini.

Lalu, bagaimana fakta-fakta berbicara di Indonesia?
Secara umum harus diakui bahwa riset bidang fisika di Indonesia sesungguhnya belum mampu meningkatkan hasil-hasil industri nasi-onal baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Hal ini semata-mata bukan saja karena dunia industri kita tidak merasa membutuhkan hasil-hasil riset sains di tanah air (karena sudah dipenuhi oleh lembaga-lembaga riset perusahaan induk mereka), akan tetapi juga disebabkan rendahnya kelayakan hasil-hasil riset fisika di tanah air untuk diimplementasikan dalam industri. Fakta-fakta tentang SDM fisika dan riset mereka di Indonesia, menunjukan bahwa perilaku SDM fisika di Indonesia masih jauh dari perilaku SDM fisika di negara-negara maju dimana dunia riset fisika mereka telah mampu memberi impact bagi dunia industri dan sebaliknya dunia industri memiliki kepedulian kepada dunia riset. Masalahnya bukan pada tema riset, akan tetapi lebih pada kualitas dan kuantitas riset dan hasil-hasilnya. Hal ini, selain diakibatkan oleh rendahnya infrastruktur dan fasilitas riset, merupakan akibat belum adanya keterpaduan antara teori dan eksperimen. Kedua kelompok ilmuwan tersebut kenyataannya masih berjalan sendiri-sendiri.

No comments: